NIAT, MENGHIDUPKAN KESADARAN RUANG DAN WAKTU

Oleh: Muhamad Imaduddin

Manusia merupakan makhluk yang bertumbuh dan berakal serta diberikan lisensi untuk melakukan perbuatan-perbuatan sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Sepanjang hidupnya manusia melakukan berbagai macam aktivitas yang menunjang keberlanjutan hidup sesuai dengan preferensi kehidupan yang diinginkannya. Potongan-potongan aktivitas ini dilakukan dengan atau tanpa perencanaan dan keinginan, yang menjadi pembeda kualitas dari setiap aktivitas yang dilakukannya. Aktivitas yang dilakukan dengan perencanaan dan keinginan akan sepenuh hati dilaksanakan dan berusaha untuk mencapai kualitas terbaik, sebaliknya aktivitas yang dilaksanakan tanpa perencanaan dan keinginan akan dilakukan secara terpaksa dan seadanya serta tidak mengharapkan hasil yang terbaik.

Islam menerjemahkan perencanaan dan keinginan melakukan aktivitas ini dengan terminologi khas yang disebut niat. Niat seseorang sangat berpengaruh bukan saja terhadap kualitas perbuatan dan hasil yang diinginkan, tetapi juga berpengaruh pada nilai aktivitas tersebut dihadapan Allah SWT. Seorang muslim meyakini bahwa apapun aktivitas yang dilakukan memiliki implikasi pahala dan dosa tergantung dengan niatnya. Niat artinya keinginan untuk melakukan suatu tindakan yang jika diikrarkan berarti “sengaja aku” atau “sadar aku” melakukan aktivitas tersebut, kesengajaan dan kesadaran yang juga harus bermuara pada Allah semata.

Perbuatan baik yang dilakukan, jika kesengajaan dan kesadarannya tidak ditujukan kepada Allah maka tidak dinilai baik oleh-Nya seperti yang di firmankan-Nya dalam QS. Al-Baqarah: 264. Sebaliknya, perbuatan buruk yang dilakukan tanpa adanya kesengajaan dan kesadaran tidak dihitung sebagai keburukan, contohnya adalah orang yang tidak sengaja (lupa) makan minum saat sedang berpuasa dan orang gila yang tidak dicatat amalnya walaupun ia meninggalkan kewajiban dan mengganggu orang sesama.

Betapa pentingnya niat dalam Islam sehingga Imam Nawawi menjadikan Hadits tentang niat di urutan pertama dari 42 hadits pilihan tentang nasihat yang terdapat dalam kitab Hadits Arba’in atau Arba’in An-Nawawiyah. Selain menjadi pembuka kitab Hadits Arba’in, Imam an-Nawawi juga menjadikannya hadits pembuka pada kitab al-Adzakar dan Riyadus Shalihin, bahkan Imam Bukhari meletakkan hadits ini dalam mukaddimah kitab shahihnya. Implikasi niat adalah kesengajaan dan kesadaran dalam aktivitas yang akan dilakukan dengan melibatkan seluruh jiwa dan raganya.

Jiwa dan raga manusia dibingkai oleh ruang dan waktu, setiap aktivitas manusia tidak lepas dari keterlibatan ruang dan waktu tersebut. Kesadaran akan ruang dan waktu memberikan makna terhadap setiap aktivitas yang dilakukan. Aktivitas yang sama bisa memiliki makna berbeda jika dilakukan di ruang yang berbeda. Begitupun waktu, aktivitas yang sama bisa memiliki makna yang berbeda jika dilakukan pada waktu yang berbeda. Duduk di ruang kelas berbeda dengan duduk di halte menunggu bus kota, yang membedakan kedua aktivitas ini adalah ruang. Berlari di pagi hari berbeda dengan berlari di siang bolong, yang membedakan kedua aktivitas ini adalah waktu.

Ruang dalam pengertian fisika adalah jarak antara satu titik dengan titik yang lain, ruang mensyaratkan adanya waktu yang muncul karena adanya gerak dalam ruang tersebut. Ruang dalam pengertian psikilogis sebagaimana yang diungkapkan oleh Husni Muadz adalah posisi kita manusia dalam hubungannya dengan sesuatu yang lain di luar diri kita. Sedangkan waktu adalah durasi yang dihabiskan oleh materi ketika bergerak dari satu titik ke titik yang lain. Manusia dan makhluk lain ciptaan Allah berada dalam dua titik waktu yaitu titik waktu ia mengada dan titik waktu ia berakhir, masing-masing mengada pada durasi yang terbatas dan setelah sampai pada titik waktu berakhir, ia akan musnah, namun waktu tetap terus berjalan. Manusia, hewan, dan benda-benda di alam semesta ini tunduk pada waktu yang sama, namun manusia memiliki persepsi tentang waktu yang tidak dimiliki oleh hewan dan benda-benda yaitu persepsi tentang masa lalu dan masa depan. Dengan adanya persepsi waktu ini manusia seringkali menyimpang waktu, ia bisa kembali ke masa lalu dan melompat jauh ke masa depan meninggalkan tubuh fisiknya. Bisa jadi raganya sedang duduk menyimak ilmu, namun jiwanya lompat menyimpang waktu ke masa lalu, akibatnya apa yang dilakukannya tidak fokus dan tidak dengan kesadaran penuh. Manusia seharusnya hadir jiwa dan raganya sekarang dan di sini.

Kesadaran ruang merupakan kesadaran akan posisi kita dan hubungannya dengan sesuatu yang lain. Untuk membangun kesadaran ruang kita perlu mengidentifikasi apa saja yang ada dalam ruang tersebut selain diri kita. Manusia senantiasa berinteraksi dengan objek yaitu apa yang terdapat di alam ini seperti benda-benda, tumbuhan dan hewan, ruang interaksi ini disebut ruang objektif. Manusia juga senantiasa berinteraksi dengan sesama manusia, ruang ini disebut ruang inter-subjektif atau lebih mudah disebut ruang sosial karena setiap manusia merupakan subjek yang memiliki perasaan dan nurani. Manusia sebagai makhluk tuhan tentunya memiliki interaksi khusus dengan sang pencipta, ruang ini disebut ruang trans-subjektif atau ruang spiritual yang memiliki sifat keluhuran, sesuatu yang tidak berwujud material namun nyata kita alami. Selain interaksi dengan ruang-ruang tersebut, adakalanya manusia berada pada kondisi tanpa ruang namun tetap berada dalam bingkai waktu yaitu saat manusia tertidur.

Sesuatu di luar diri kita sangat kompleks, beragam dan bertinglat-tingkat secara eksistensial dan esensi. Prof al-Attas memandang bahwa segala sesuatu memiliki tingkatan-tingkatan yang tersusun secara hirarki, pengenalan dan pengakuan yang tepat atas susunan hirarki tersebut disebut adab. Ruang-ruang di sekitar kita pun memiliki susunan hirarki agar interaksi yang kita lakukan menciptakan kesesuaian dan keseimbangan sebagaimana Allah menciptakan alam ini senantiasa selaras.

Ruang objek menempati hirarki terendah yang berada di bawah eksistensi manusia seperti benda, materi, harta, pekerjaan dan segala alat untuk memenuhi kebutuhan manusia. Interaksi kita sebagai subjek terhadap ruang objek ini bersifat kognitif dan monologis, subjek yang memberi makna, subjek yang mengetahui, subjek yang aktif dan subjek yang menguasai objek. Ruang sosial menempati hirarki yang lebih tinggi, ruang sosial ini merupakan interaksi antar manusia yang memiliki kesadaran, perasaan, pikiran, keinginan dan kebutuhan yang melampaui kebutuhan material. Interaksi kita dengan ruang sosial ini merupakan interaksi antar subjek yang bersifat rekognitif, dialogis dan mutual karena manusia diciptakan untuk saling mengenal (ta’arofu). Ruang spiritual merupakan hirarki paling tinggi karena kita berinteraksi dengan yang Maha Tinggi. Ruang spiritual ini selain menjadi hirarki tertinggi, juga menjadi bingkai dari interaksi kita dengan ruang-ruang yang lain. Interaksi kita dengan ruang objek dan ruang sosial tetap terbingkai hubungan ketaatan kita kepada Allah. Hubungan kita dengan ruang spiritual bersifat reseptif atau penerimaan, relasi ini baru bisa terwujud ketika subjek memiliki kesiapan untuk menerima limpahan dari Tuhan. Kunci untuk bisa membangun relasi dengan Tuhan adalah dengan mengeliminasi ego kita yang merasa sebagai subjek yang mandiri, padahal sejatinya kita merupakan subjek yang bergantung kepada yang lebih Tinggi.

Manusia yang tidak mengenal hirarki antar ruang seringkali terjebak dalam lompatan ruang yang tidak konsisten, dalam hubungan spiritual misalnya, kita masih sulit melepaskan kesadaran kita mengenai hubungan dengan subjek atau objek lain saat sedang berada dalam ruang spiritual. Sebaliknya, interaksi kita dengan ruang sosial dan ruang objek yang mengabaikan bingkai ruang spiritual, menjadikan kita tunduk kepada subjek dan bahkan objek. Di antara kita masih banyak yang justru tunduk dan dikendalikan oleh seseorang atau harta benda, banyaknya korupsi menjadi bukti tunduknya kita kepada subjek dan objek.

Kesadaran waktu sebagaimana kesadaran ruang memiliki implikasi besar dalam konsistensi kita melakukan tindakan, identifikasi ruang yang tepat tidak berarti banyak jika tidak berada dalam persepsi waktu yang tepat pula. Waktu terbagi menjadi waktu objektif dan waktu eksistensial, waktu objektif merupakan waktu yang dimiliki oleh semua makhluk yaitu 24 jam sehari, 168 jam seminggu dan seterusnya. Sedangkan waktu eksistensial merupakan waktu yang dimiliki semua makhluk sekarang dan di sini, namun manusia memiliki persepsi waktu yang lain seperti yang telah disebutkan yaitu masa lalu dan masa depan. Raga manusia selalu berada pada waktu sekarang, tidak bisa kembali ke masa lalu dan pergi ke masa depan, namun jiwanya bisa berpindah-pindah ke mana ia ingin pergi. Maka dari itu, seharusnya jiwanya senantiasa membersamai raganya mengarungi waktu sekarang melakukan dan memaknai aktivitas bersama-sama.

Raga yang tidak dibersamai jiwanya akan kehilangan makna dari aktivitas yang dilakukan, raganya hanya melakukan otomatisasi tindakan tanpa makna. Betapa bermakna dan mulianya seseorang yang sedang menuntut ilmu, namun jika jiwanya melompat waktu tidak membersamai, aktivitas itu hanya menjadi rutinitas telinga yang mendengar, mata yang melihat dan tangan yang mencatat tanpa hati yang mengalir rasa menggali makna.

Niat menjadi ikrar awal bahwa kesengajaan dan kesadaraanya melakukan sesuatu hanya tertuju kepada Allah saja. Niat juga membentuk janji bagi jiwa dan raga untuk terus bersama mengabdikan diri di dalam ruang dan waktu yang sama tanpa perlu melompati waktu membiarkan satu sama lain tenggelam dalam kesia-siaan tanpa makna. Niat yang tulus mampu menghidupkan kesadaran ruang dan waku dalam segala aktivitas, menempatkan diri pada ruang yang tepat dan menempatkan jiwa pada waktu yang tepat bersama hati yang mengolah rasa dan mengganda makna.

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started