Ghibah dan Fitnah dalam Perspektif Gender

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya “Tahukah kalian apa iitu gibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu apa yang tidak ia suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana jika pada diri saudaraku itu kenyataannya sebagaimana yang aku ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-gibahinya, dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya (Fitnah). (HR. Muslim No. 2589)

Manusia sebagai makhluk sosial meniscayakan terjadinya interaksi dan komunikasi antar sesama dengan berbagai macam bentuk yang dinilai efektif. Komunikasi memungkinkan adanya pertukaran informasi antar pemberi dan menerima pesan. Kaitannya dengan Hadits di atas, gibah dan fitnah tidak bisa dipungkiri sebagai salah satu bentuk komunikasi yang sering dilakukan, terlepas stigma yang melakat dalam aktivitas gibah dan fitnah itu sendiri.

Gibah dalam KBBI disebutkan sebagai aktivitas membicarakan keburukan orang lain, sedangkan dalam bahasa Arab gibah berasal dari kata ghaib yang berarti tidak hadir. Dapat disimpulkan bahwa gibah adalah membicarakan keburukan orang lain sedangkan orang yang dibicarakan tidak berada di tempat, sebagaimana yang tertuang dalam Hadits di atas. Sedangkan fitnah memiliki lebih banyak makna dalam bahasa Arab, dalam al-Qur’an setidaknya terdapat 81 ayat yang mengandung kata fitnah dan turunannya dengan pemaknaan yang berbeda-beda. Namun dalam bahasa Indonesia, kata fitnah telah mengerucut kepada perkataan bohong yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang lain.

Pada dasarnya gibah merupakan perbuatan tercela yang dosanya diumpamakan seperti memakan bangkai saudaranya sendiri, namun dalam situasi tertentu gibah justru diperbolehkan. Imam Nawawi menjelaskan situasi diperbolehkannya gibah antara lain bagi orang yang terzhalimi dan menyampaikan kesaksian di pengadilan, orang yang meminta fatwa dan nasihat, membicarakan keburukan untuk memperingatkan orang-orang Islam serta menyebutkan tentang orang yang menampakkan kefasikan dan perilaku maksiat. Eric K. Foster menyebutkan bahwa gosip (baca: gibah) memiliki fungsi sebagai kontrol sosial, gibah dapat menjadi standar batasan moral yang berlaku di masyarakat.

Dalam pandangan masyarakat umum gibah identik dengan dengan kaum hawa sebagaimana acara-acara gosip banyak dibawakan oleh perempuan, ibu-ibu berbelanja sayuran sambil membicarakan topik-topik hangat, hingga penelitian yang dilakukan oleh Hasbiah bahwa majelis taklim ibu-ibu merupakan salah satu tempat yang efektif untuk bergosip. Tidak hanya itu, David Watson dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa perempuan menghabiskan lebih banyak waktu untuk bergosip yaitu sebesar 67%, sedangkan laki-laki menghabiskan 55% dari waktu mereka untuk bergosip.

Jika gibah cenderung dilakukan oleh perempuan, bagaimana dengan fitnah? Apakah sebaliknya, cenderung dilakukan oleh laki-laki?

Belum ada penelitian yang membahas secara khusus pelaku fitnah dari perspektif seksualitas, laki-laki atau perempuan. Namun fitnah seringkali dijadikan alat propaganda dalam peperangan untuk melemahkan musuh dan menggalang kekuatan yang mana dominasi pelakunya adalah laki-laki. Fitnah juga banyak dilakukan dalam persaingan politik, persaingan bisnis hingga persaingan reputasi dalam dunia professional. Dalam sejarah peradaban Islam telah terjadi fitnah-fitnah yang memicu perpecahan di kalangan umat Islam sepeninggal Rasulullah SAW. Wafatnya khalifah Utsman bin Affan merupakan salah satu akibat rangkaian fitnah tersebut. Munculnya kaum Saba’iyyah yang merupakan kelompok kaum zindik dan munafik menjadi salah satu faktor perpecahan di kalangan umat Islam. Kaum Saba’iyyah yang di pimpin oleh Abdullah bin Saba menjadi aktor yang menyebarkan fitnah-fitnah di kalangan kaum muslimin yang didasari oleh dendam karena kaum muslim telah mengalahkan bani-bani Yahudi di Madinah dan Khaibar.

Gibah dan fitnah memiliki tujuan dan preferensi masing-masing yang walaupun terlihat mirip namun keduanya sama sekali berbeda. Gibah dan fitnah bisa sama-sama bertujuan untuk melukai dan menyerang, namun gibah melukai dengan menghantam masa lalu seseorang, sedangkan fitnah menyerang dengan melampaui perbuatan seseorang. Jika gibah menarik luka masa lalu ke masa sekarang, maka, fitnah menghalau masa depan dengan luka yang tak pernah bersua. Dalam bahasa yang sederhana, gibah mengungkit masa lalu, sementara fitnah menghalangi masa depan. Untuk dapat memahami pola kerja gibah dan fitnah serta memaknai landasan manusia melakukannya, kiranya perlu untuk mendalami manusia sebagai makhluk yang memilki kompleksitas dengan segala potensi dasar yang diberikan Allah SWT padanya.

Manusia diciptakan dengan personalitasnya masing-masing. Personalitas merupakan modal penciptaan yang diberikan Allah kepada setiap manusia seperti modal fisik dan modal akal. Personalitas yang diakumulasi menjadi tindakan maka menjadi indentitas, pilihan identitas sangat bergantung pada modal penciptaan mana yang lebih dominan diaktualisasikan. Personalitas ini, Harry Santosa menyebutnya sebagai fitrah yang telah Allah berikan kepada manusia sepaket dengan penciptaannya. Fitrah ini sebagai bekal manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia agar dapat senantiasa berjalan sesuai dengan tujuan awal penciptaannya. Salah satu fitrah yang Allah berikan yaitu fitrah gender dan seksualitas.

Gender dan seksualitas merupakan dua hal yang berbeda, seksualitas mengacu pada jenis kelamin yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, sementara gender merupakan konsep yang digunakan untuk menggambarkan peran dan relasi sosial. Setiap manusia memiliki sisi maskulin dan sisi feminin yang tangki pengisinya pada laki-laki dan perempuan berbeda. Pada umumnya laki-laki memiliki lebih banyak tangki maskulin dibanding tangki feminin, begitupun sebaliknya, perempuan memiliki tangki feminin lebih banyak dari pada tangki maskulin. Dominasi sisi maskulin pada laki-laki membuatnya menjadi seseorang yang lebih mampu berfikir logis, di sisi lain, perempuan dengan femininitasnya menjadi seseorang yang lebih perasa.

Dari sudut pandang rasa dan logika, gibah lebih tepat disebut sebagai permainan rasa. Tanpa perdulikan rasa, gibah hanya berupa penggalan kisah-kisah tak bermakna. Serangan gibah dilancarkan lantaran rasa tak lagi nyaman dengan perlakuan seseorang atas dirinya dan lingkungannya. Rasa tak nyaman ini dikeluarkan dalam bentuk pertukaran informasi yang bersifat evaluatif yang menjadi sarana efektif dalam membangun batas-batas sosial. Sedangkan fitnah, sepakat bila kita sebut sebagai permainan logika. Tanpa logika yang cukup fitnah tak akan sempurna, fitnah yang tak sempurna malah akan bersiap menghantam balik sang pembuat fitnah. Fitnah merupakan kalkulasi logika tentang apa yang ingin direkayasa, fitnah harus dibuat serasional mungkin agar lolos dari verifikasi publik yang kritis dan objektif.

Selain membentuk daya logika dan rasa, sisi maskulin dan feminin juga menjadi penyuplai daya individualitas dan sosiabilitas. Individualitas menjadi identitas dari maskulinitas, sosiabilitas menjadi indentitas dari femninitas. Aktivitas gibah yang cenderung feminin menjadikan perubahan sosial sebagai tujuan. Ada dua perubahan sosial yang dikehendaki dari gibah yaitu, perubahan sikap sosial terhadap seseorang yang telah berperilaku mengganggu kenyamanan individu dan lingkungan, serta perubahan sosial secara umum agar perilaku tersebut tak diikuti dan ditiru. Berbeda dengan gibah, perilaku fitnah yang cenderung maskulin lebih menghendaki perubahan nasib individu di masa depan. Tidak peduli pada perubahan sikap sosial terhadap individu yang di fitnah, asalkan itu dapat merubah, membelokkan dan bahkan memutus masa depan seseorang.

Berkaitan dengan ke-masa laluan dan ke-masa depanan yang menjadi pembeda antara gibah dan fitnah sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, manusia memang memiliki dualitas diri dalam kesatuan dirinya. Manusia terdiri dari diri yang mengalami (experience self) dan diri yang mengingat (memorian self). Experience self memandang dirinya sebagai entitas yang terus bergerak maju, memandang jauh ke depan dan mengejar pengalaman. Experience self melihat dirinya sebagai seseorang yang berbeda pada rentang waktu yang akan datang. Perbedaan dirinya pada setiap rentang waktu mengharuskannya melakukan persiapan untuk menjadi seseorang yang baru di masa depan. Maka, fitnah mungkin akan terjadi jika apa yang dilihatnya di masa depan akan terganggu oleh apa yang juga orang lain lihat di masa depan dirinya. Oleh karena itu, fitnah merupakan upaya untuk memutus masa depan seseorang agar masa depan dirinya yang sudah tergambarkan dapat terwujud.

Sementara itu, memorian self memandang dirinya sebagai akumulasi masa lalu. Dirinya hari ini merupakan masa lalu yang di sekarang-kan, dan masa depan adalah hari ini yang di nanti-kan. Memorian self melihat dirinya hanya berupa gabungan snapshot memori pengalaman sebelumnya. Maka, jika ada seseorang yang tidak membuat nyaman hari ini, itu merupakan hasil dari pengalaman-pengalamannya di masa lalu, dan untuk merubahnya, hadirkan luka masa lalu itu di waktu sekarang untuk mengingatkan ada yang salah dalam menjalani kehidupan. Bisa dikatakan, memorian self ini yang menjadi mekanisme dasar perilaku gibah dalam perspektif waktu.

Experience self selalu diasosiasikan dengan maskulinitas karena selalu memberikan gairah untuk terus bergerak maju menuju diri yang baru. Sedangkan memorian self selalu diasosiasikan dengan femininitas karena selalu berdasar pada kehati-hatian, ketenangan dan penuh pertimbangan. Inilah yang menurut Adriano Rusfi, seharusnya laki-laki menjadi pembangun asa, sementara perempuan menjadi pembasuh luka dari luka terjalnya perjalanan.

Tidak ada kepastian bahwa pelaku gibah selalu diidentikkan dengan perempuan dan pelaku fitnah diidentikkan dengan laki-laki. Namun dari perspektif gender, perilaku gibah lebih dekat dengan sisi feminin dan perilaku fitnah lebih dekat dengan sisi maskulin. Mungkin ini sebab dalil keberhati-hatian fitnah itu ditujukan umumnya pada laki-laki, sedangkan dalil keberhati-hatian gibah ditujukan umumnya pada perempuan. Allahu A’lam

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started