KEGAIRAHAN DALAM BERIMAN

Iman merupakan keyakinan yang diteguhkan dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Imam Al-Ghazali (2014) mendefinisikan iman sebagai keyakinan terhadap suatu kebenaran dimana kebenaran hakiki yaitu Allah SWT. Keyakinan berasal dari hati dan lidah sebagai penerjemah serta perbuatan anggota badan sebagai manifestasi. Takwa secara bahasa kerap kali di definisikan sebagai rasa takut kepada Allah. Hamka dalam tafsir Al-Azharnya yang dikutip oleh Muhammad hafil (2020) mengambil rumpun kata wiqayah yang berarti memelihara. Memelihara hubungan baik dengan Allah dengan senantiasa memelihara segala perintah-Nya untuk dapat dijalankan serta memelihara diri jangan sampai terperosok pada jalan dan perbuatan yang dimurkai-Nya.

Keimanan dan ketakwaan menjadi ruh yang menjadikan manusia tetap ‘ada’ dalam arti dapat memaknai hidupnya. Manusia modern saat ini berdasarkan beberapa riset digambarkan seperti terpenjara dalam euforia gemerlap ilmu pengetahuan tetapi hampa makna dan tujuan. Menurut Says yang dikutip oleh A Rahman (2018) yang dibutuhkan oleh mereka adalah suplemen yang mampu menghidupkan kembali ruhani yang dalam agama biasa disebut iman. Charles Tart seorang psikologi transpersonal menyebut fenomena serupa sebagai Existensi Neurosis dimana kondisi ketidakbahagiaan karena ketiadaan makna hidup.

Ian Marshall sebagai penggagas konsep kecerdasan spiritual menyadari sifat manusia modern yang semakin egois, materialistis, ambisiuns, amoral, dan apriori. Penelitian seorang ilmuan, Ben Anderson yang dikutip oleh Miftah Faridl Rahmat menunjukkan orang-orang kaya di Indonesia mengalami problem serupa yang di istilahkan Existential Vacum atau kekosongan eksistensi dan mayoritas penderitanya yaitu orang-orang yang menganut agama Islam (Ridwanuddin, 2016).

Fenomena ini merupakan akibat dari proses sejarah yang sangat panjang sebagai konsekuensi dari globalisasi, modernisasi dan industrialisasi. Akar dari semua itu adalah sekulerisme yang merupakan counter dogm dari dogma gereja yang menghegemoni kaum kristiani saat itu. Kekecewaan terhadap dogma agama melahirkan doktrin sekularisme yang mana inti ajarannya adalah membawa pada kehidupan yang tidak didasarkan pada agama dan pemahaman bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama (Ashidqi, 2014).

Menurut Harvey Cox yang disadur oleh Fadlurrahman (2014) terdapat tiga kerangka dasar sekularisasi yakni (1) disenchantment of nature yaitu pengosongan nilai-nilai ruhani dan agama dalam memandang alam semesta (2) desacralizationof politic yaitu penyingkiran unsur-unsur ruhani dan agama dari politik (3) deconsencration of values yaitu menafikan semua nilai-nilai kemanusiaan sehingga kebenaran tidak ada yang mutlak, semua serba relatif. Padahal menurut Alattas kesalahan sekularisme justru karena mengosongkan dunia dari unsur keagamaan, sedangkan alam/dunia merupakan ayat (tanda) dan manifestasi tuhan.

Untuk menjaga agar spiritualitas tetap terjaga dan tetap dalam kebermaknaan hidup, perlu adanya pemeliharaan akidah dalam diri setiap orang. Sangat mungkin orang-orang kaya muslim yang dijadikan riset diatas merupakan orang yang beriman. Namun ketiadaan gairah dalam keberimanannya membuatnya tidak bisa menjadikan imannya sebagai pemberi makna dalam menjalani kehidupan. Gairah atau yang dalam Islam dikenal dengan istilah ghirah dalam terminologi bahasa arab diartikan dengan cemburu, sebagaimana juga Hamka yang dikutip Risfan (2020) mendefinisikannya sebagai cemburu dalam beragama. Cemburu bermakna positif karena dapat membakar semangat dalam beragama.

Kecemburuan yang dimaksud adalah kecemburuan yang hadir karena syariat islam tidak tegak sebagaimana mestinya, moralitas masyarakat jauh dari moralitas Islam, bahkan ketika diri sendiri tidak berperilaku sesuai dengan yang diinginkan Islam. cemburu dalam Islam mendatangkan kebaikan dan menghalangi keburukan, bahkan merupakan energi rahasia dalam diri manusia (Nashrullah, 2016) Muhammad Iqbal dalam tulisan Khairul Anwar (2015) memaknainya sebagai bara api yang membakar diri. Ghirah lah yang menstimulus kita untuk mencari dan memaknai kedirian dan kehidupan kita. Kehilangan ghirah berarti mati menjadi manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghozali, I. (2014). Ihya ‘Ulumuddin. Bandung: Marja.

Anwar, K. (2015). Kebebasan Manusia Berdasarkan Filsafat Khudi Muhammad Iqbal. Al-Qidri .

Ashidqi, F. (2014). Problem Doktrin Sekulerisme. Kalimah .

Hafil, M. (2020). Saat Abu Hurairah ditanya Soal Taqwa. Republika.

Nashrullah, N. (2016). Ghirah Agama adalah Rahasia Energi. Jakarta: Republika.

Rahman, A. (2018). Konsep Pendidikan Keimanan dalam Perspektif Badiuzzaman Said Nursi dan Relevansinya dengan Konteks Pendidikan di Indonesia. digilib uin sgd Bandung .

Ridwanuddin, F. (2016). Eko-Teologi dalam Pemikiran Badiuzzaman. digilib uin sgd .

Sihalolo, R. (2020, 08 07). Ghirah. Retrieved from Tajdid: https://tajdid.id/2020/08/07/ghirah-2/

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started